”Tetaplah Pusatkan Pikiranmu pada Perkara-Perkara yang Ada di Atas”
”Tetaplah pusatkan pikiranmu pada perkara-perkara yang ada di atas, bukan pada perkara-perkara yang ada di bumi.”
1, 2. (a) Mengapa sidang Kolose terancam? (b) Nasihat apa yang membantu saudara-saudari di Kolose untuk tetap bersahabat dengan Allah?
PERSATUAN sidang Kolose abad pertama terancam! Beberapa saudara mengatakan bahwa semua harus menaati Hukum Musa. Yang lainnya mengatakan bahwa bersenang-senang itu salah. Untuk memperingatkan mereka akan bahayanya pendapat yang berbeda-beda tersebut, Paulus menulis, ”Berhati-hatilah: mungkin ada orang yang akan membawa kamu pergi sebagai mangsanya melalui filsafat dan tipu daya kosong menurut ajaran turun-temurun dari manusia, menurut hal-hal dasar dari dunia dan bukan menurut Kristus.”
2 Jika orang-orang Kristen terurap itu mengikuti pendapat manusia, mereka sebenarnya menolak hak istimewa menjadi putra-putra Allah. (Kol. 2:20-23) Agar mereka bisa menjaga persahabatan mereka yang berharga dengan Allah, Paulus menasihati mereka, ”Tetaplah pusatkan pikiranmu pada perkara-perkara yang ada di atas, bukan pada perkara-perkara yang ada di bumi.” (Kol. 3:2) Orang-orang Kristen tersebut perlu mengingat harapan istimewa mereka untuk hidup kekal di surga.
3. (a) Apa harapan orang Kristen terurap? (b) Pertanyaan apa saja yang akan kita bahas?
3 Orang Kristen terurap dewasa ini juga tetap memusatkan pikiran pada Kerajaan Allah dan harapan mereka untuk menjadi ”sesama ahli waris bersama Kristus” di surga. (Rm. 8:14-17) Lalu, bagaimana dengan mereka yang berharap untuk hidup di bumi? Apa artinya kata-kata Paulus bagi mereka? Bagaimana mereka bisa tetap memusatkan pikiran pada ”perkara-perkara yang ada di atas”? (Yoh. 10:16) Abraham dan Musa tetap memusatkan pikiran mereka pada perkara-perkara di atas bahkan dalam kondisi sulit. Bagaimana kita bisa meniru mereka?
MEMUSATKAN PIKIRAN PADA PERKARA-PERKARA DI ATAS —ARTINYA
4. Bagaimana orang Kristen yang berharap hidup di bumi bisa tetap memusatkan pikiran pada perkara-perkara di atas?
4 Orang-orang yang berharap hidup di bumi harus tetap memusatkan pikiran mereka pada perkara-perkara di atas. Mereka melakukannya dengan mendahulukan Yehuwa dan Kerajaan-Nya dalam kehidupan mereka. (Luk. 10:25-27) Itulah yang Kristus lakukan, dan itulah yang perlu kita lakukan juga. (1 Ptr. 2: 21) Orang Kristen abad pertama dikelilingi oleh cara berpikir yang salah, filsafat dunia, dan materialisme. Dewasa ini, kita pun mengalami hal yang sama dalam dunia Setan. (Baca 2 Korintus 10:5.) Kita perlu meniru Yesus dan waspada terhadap apa pun yang bisa merusak hubungan kita dengan Yehuwa.
5. Apa yang bisa kita renungkan tentang cara kita memandang uang dan harta?
5 Apakah kita sudah mulai dipengaruhi oleh pandangan dunia terhadap uang dan harta? Hal yang benar-benar kita cintai akan tampak dari apa yang kita pikirkan dan lakukan. Yesus mengatakan, ”Sebab di mana hartamu berada, di sanalah hatimu juga.” (Mat. 6:21) Kita perlu merenungkan apa yang paling penting bagi kita. Apakah waktu kita banyak tersita untuk mengkhawatirkan uang, memikirkan cara mendapat pekerjaan yang lebih baik, atau berupaya hidup lebih nyaman? Atau, apakah kita mencoba hidup sederhana dan berfokus pada hubungan kita dengan Yehuwa? (Mat. 6:22) Yesus mengatakan bahwa jika fokus kita adalah menimbun ”harta di atas bumi”, hubungan kita dengan Yehuwa akan rusak.
6. Bagaimana kita bisa menang melawan ketidaksempurnaan kita sendiri?
6 Karena tidak sempurna, mudah bagi kita untuk melakukan hal-hal yang salah. (Baca Roma 7:21-25.) Jika kita tidak mengandalkan roh kudus Allah, kita bisa saja ikut ’berpesta pora dan bermabuk-mabukan’, melakukan amoralitas, bahkan ’bertingkah laku bebas’, karena tidak merespek hukum Allah. (Rm. 13:12, 13) Kita memang terus berjuang melawan ketidaksempurnaan. Tapi, kita dapat menang asalkan kita terus memusatkan pikiran pada perkara-perkara di atas. Ini butuh upaya. Itulah sebabnya Paulus mengatakan, ”Aku memukuli tubuhku dan menguasainya bagaikan budak.” (1 Kor. 9:27) Kita juga perlu tegas kepada diri sendiri. Mari kita bahas teladan dua pria setia yang melakukan yang terbaik untuk menyenangkan Allah.
ABRAHAM ”MENARUH IMAN KEPADA YEHUWA”
7, 8. (a) Masalah apa saja yang dihadapi Abraham dan Sara? (b) Apa yang terus Abraham pikirkan?
7 Sewaktu Yehuwa meminta Abraham untuk pindah bersama keluarganya ke Kanaan, Abraham langsung taat. Yehuwa mengupahi iman dan ketaatan Abraham dengan membuat perjanjian dengannya. Yehuwa berfirman kepadanya, ”Aku akan membuat bangsa yang besar darimu, dan aku akan memberkati engkau.” (Kej. 12:2) Tahun demi tahun berlalu, namun Abraham dan Sara masih belum memiliki anak. Apakah Abraham berpikir bahwa Yehuwa telah melupakan janji-Nya? Pada waktu itu, kehidupan Abraham tidaklah mudah. Ia telah meninggalkan kehidupannya yang nyaman di kota Ur yang makmur dan pergi lebih dari 1.600 kilometer ke tanah Kanaan. Ia dan keluarganya tinggal di tenda-tenda, kadang tidak punya cukup makanan, dan menghadapi bahaya dirampok. (Kej. 12:5, 10; 13:18; 14:10-16) Namun, Abraham dan keluarganya sama sekali tidak berniat kembali ke Ur yang nyaman.
8 Abraham ”menaruh iman kepada Yehuwa” dan tidak berfokus pada ”perkara-perkara yang ada di bumi”. (Kej. 15:6) Ia terus memikirkan janji Allah kepadanya. Yehuwa melihat iman Abraham dan berkata kepadanya, ”’Silakan menengadah ke langit dan hitunglah bintang-bintang, jika engkau mungkin sanggup menghitungnya.’ Selanjutnya ia berfirman kepadanya, ’Demikianlah jadinya benihmu kelak.’” (Kej. 15:5) Sewaktu mendengar itu, Abraham tahu bahwa Yehuwa tidak melupakannya. Setiap kali memandang bintang-bintang, ia ingat janji Yehuwa untuk memberinya banyak keturunan. Dan, ketika waktu yang Yehuwa tetapkan telah tiba, Abraham mendapat seorang putra, persis seperti yang Yehuwa janjikan.
9. Bagaimana kita dapat meniru Abraham?
9 Seperti Abraham, kita juga sedang menantikan penggenapan janji Yehuwa. (2 Ptr. 3:13) Jika kita tidak tetap memusatkan pikiran pada perkara-perkara di atas, kita bisa menganggap bahwa penggenapan janji-janji tersebut tertunda dan bisa jadi tidak bersemangat lagi melayani Yehuwa seperti dulu. Mungkin dulu Saudara berkorban demi Yehuwa agar bisa merintis atau melayani dalam corak dinas lainnya. Tapi, bagaimana sekarang? Apakah Saudara seperti Abraham, yang berbuat sebaik mungkin untuk Yehuwa dan terus mengingat berkat di masa depan? (Ibr. 11:10) Abraham ”memperlihatkan iman akan Yehuwa” dan ia disebut sahabat Allah.
MUSA MELIHAT ”PRIBADI YANG TIDAK KELIHATAN”
10. Bagaimana Musa dibesarkan?
10 Teladan lain adalah Musa, yang juga tetap memusatkan pikiran pada perkara-perkara di atas. Ia dibesarkan sebagai anggota keluarga kerajaan di Mesir, yang saat itu adalah bangsa yang paling berkuasa di dunia. Alkitab mengatakan bahwa ia ”diajar tentang segala hikmat orang Mesir”. Karena pendidikan tinggi itu, ’perkataan dan perbuatan Musa penuh kuasa’. (Kis. 7:22) Dengan latar belakangnya, Musa punya banyak peluang untuk menjadi orang penting di Mesir. Tapi, ada pendidikan lain yang lebih penting baginya.
11, 12. Pendidikan apa yang paling penting bagi Musa? Apa buktinya?
11 Sewaktu kecil, Musa diajar oleh ibunya, Yokhebed, tentang Allah orang Ibrani. Pengetahuan tentang Yehuwa ini jauh lebih penting bagi Musa daripada semua hal lain. Ia rela melepaskan semua peluang untuk menjadi kaya dan berkuasa agar dapat melakukan kehendak Allah. (Baca Ibrani 11:24-27.) Karena pelatihan yang diterimanya semasa kecil dan imannya kepada Yehuwa, Musa memusatkan pikirannya pada perkara-perkara di atas.
12 Meski menerima pendidikan terbaik yang ada kala itu di Mesir, Musa tidak menggunakannya untuk mendapat kekuasaan, ketenaran, atau kekayaan. Malah, Alkitab mengatakan bahwa ia ”menolak untuk disebut sebagai putra dari putri Firaun, dan memilih untuk diperlakukan dengan kejam bersama umat Allah sebaliknya daripada mendapatkan kenikmatan sementara dari dosa”. Belakangan, Musa menggunakan pengetahuannya tentang Yehuwa untuk memimpin umat-Nya.
13, 14. (a) Pelatihan apa yang harus Musa terima sebelum bisa membebaskan umat Yehuwa? (b) Seperti Musa, apa yang perlu kita pupuk?
13 Musa mengasihi Yehuwa dan umat-Nya, yang pada saat itu menjadi budak di Mesir. Ketika berusia 40 tahun, ia merasa sudah siap untuk membebaskan mereka. (Kis. 7:23-25) Tapi, Yehuwa tahu bahwa Musa belum siap. Ia masih perlu belajar kerendahan hati, kesabaran, kelemahlembutan, dan pengendalian diri. (Ams. 15:33) Musa perlu pelatihan agar ia siap menghadapi berbagai masalah yang berat. Selama 40 tahun sebagai gembala, ia belajar mengembangkan sifat-sifat tersebut.
14 Apakah pelatihan tersebut berguna bagi Musa? Tentu. Menurut Alkitab, ia menjadi ”pria yang paling lembut, jauh melebihi semua orang yang ada di permukaan bumi”. (Bil. 12:3) Karena telah belajar kerendahan hati, ia bisa sabar menghadapi berbagai macam orang dan masalah mereka. (Kel. 18:26) Kita juga perlu memupuk sifat-sifat yang dibutuhkan untuk bisa selamat melewati ”kesengsaraan besar” dan memasuki dunia baru Allah. (Pny. 7:14) Apakah kita bisa akur dengan orang-orang, termasuk yang kita anggap gampang tersinggung atau sakit hati? Kata-kata rasul Petrus bisa membantu kita, ”Hormatilah segala macam orang, kasihilah segenap persekutuan saudara-saudara.”
TETAP MEMUSATKAN PIKIRAN KITA PADA PERKARA-PERKARA DI ATAS
15, 16. (a) Mengapa kita harus terus memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang benar? (b) Mengapa orang Kristen perlu menjaga tingkah laku mereka tetap baik?
15 Kita hidup pada ”masa kritis yang sulit dihadapi”. (2 Tim. 3:1) Itulah sebabnya kita harus terus memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang benar supaya bisa tetap dekat dengan Allah. (1 Tes. 5:6-9) Mari kita bahas tiga cara untuk melakukannya.
16 Tingkah laku kita: Rasul Petrus menjelaskan bahwa tingkah laku yang baik sangat penting sewaktu ia mengatakan, ”Pertahankan tingkah lakumu tetap baik di antara bangsa-bangsa.” Ia menambahkan bahwa orang-orang yang tidak mengenal Yehuwa mungkin akan mengamati tingkah laku kita dan ”memuliakan Allah”. (1 Ptr. 2:12) Kita harus mengerahkan upaya terbaik untuk memuliakan Yehuwa melalui tingkah laku kita, entah di rumah, di tempat kerja, di sekolah, saat santai, atau sewaktu mengabar. Tentu saja, kita semua tidak sempurna dan berbuat salah. (Rm. 3:23) Tapi, jangan kecil hati. Dengan bantuan Yehuwa, kita bisa menang dalam perjuangan mempertahankan iman.
17. Bagaimana kita bisa meniru sikap Yesus? (Lihat gambar di awal artikel.)
17 Sikap kita: Untuk mempertahankan tingkah laku yang baik, kita perlu memiliki sikap yang benar. Rasul Paulus mengatakan, ”Peliharalah sikap mental ini dalam dirimu, yang juga ada dalam Kristus Yesus.” (Flp. 2:5) Bagaimana sikap Yesus? Ia rendah hati sehingga bersedia melakukan yang terbaik bagi Yehuwa. Memberitakan kabar baik Kerajaan Allah selalu ada dalam pikirannya. (Mrk. 1:38; 13:10) Yesus menganggap Firman Allah sebagai pembimbing yang paling penting. (Yoh. 7:16; 8:28) Ia mempelajari Tulisan-Tulisan Kudus dengan saksama sehingga ia bisa mengutip, membela, dan menjelaskannya. Jika kita memiliki pikiran seperti Kristus, kita juga akan rendah hati, bersemangat dalam pelayanan, dan rajin belajar Alkitab.
18. Dengan cara apa saja kita bisa mendukung pekerjaan Yehuwa?
18 Dukungan kita: Kehendak Allah adalah agar ’mereka yang berada di surga dan di bumi’ tunduk kepada Yesus. (Flp. 2:9-11) Meski memiliki kedudukan yang sangat penting, Yesus tunduk kepada Bapaknya. Kita pun perlu berbuat yang sama. (1 Kor. 15:28) Kita ikut dalam pekerjaan Yehuwa sewaktu kita ’membuat orang-orang dari segala bangsa menjadi murid’. (Mat. 28:19) Kita juga ”melakukan apa yang baik untuk semua orang”, yaitu kepada sesama dan saudara-saudari kita.
19. Apa hendaknya tekad kita?
19 Alangkah bersyukurnya kita karena Yehuwa mengingatkan kita untuk tetap memusatkan pikiran pada perkara-perkara di atas! Kita perlu ”berlari dengan tekun” dan tetap berfokus pada hal-hal yang benar. (Ibr. 12:1) Marilah kita bertekad untuk melakukannya ”dengan sepenuh jiwa seperti untuk Yehuwa”, karena tahu bahwa Bapak surgawi akan memberkati kita dengan limpah.